Otto Soemarwoto, Lebih Banyak Memberi Contoh…

Kamis, 3 April 2008
Berita Utama
Obituari

Rabu, 2 April 2008 | 02:56 WIB

Kepergian pakar lingkungan hidup, Prof Dr Otto Soemarwoto, dalam usia 82 tahun, Selasa (1/4), mengejutkan banyak pihak. Selama ini guru besar emeritus Universitas Padjadjaran Bandung ini dikenal sebagai sosok yang bugar dan sehat.

Lever kronis yang dideritanya, ungkap Gatot P Soemarwoto (50), putra tertuanya, merupakan penyakit yang baru teridentifikasi tiga bulan lalu. Meskipun demikian, pihak keluarga mengikhlaskan kepergian ilmuwan kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 19 Februari 1926, itu.

Otto meninggal di Rumah Sakit Santosa Internasional Bandung setelah dirawat 10 hari. Jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Sirnaraga, Bandung, Selasa pukul 11.30.

Otto pergi meninggalkan istri, Ny Idjah Natadipradja (82), serta tiga anak, Gatot P Soemarwoto (50), Rini Susetyawati (47), dan Bambang Irawan (44).

Sejak Selasa pagi rumahnya di Jalan Cimandiri 16 Bandung tidak henti-hentinya dibanjiri pelayat, baik kerabat maupun koleganya, mulai dari kalangan perguruan tinggi, aktivis lingkungan, hingga pejabat pemerintah.

”Hidupnya dipersembahkan untuk lingkungan. Sejak muda hingga sekarang tidak ada yang berubah terhadap semangatnya,” tutur Rektor Universitas Padjadjaran Prof Ganjar Kurnia. ”Tahun 1972, saat isu lingkungan hidup belum sepopuler sekarang, beliau sudah merintisnya,” tutur Ganjar.

Hal yang akhir-akhir ini amat disyukuri Otto adalah makin banyak orang yang senang bersepeda. ”Padahal dulu banyak orang berpikir naik sepeda itu tidak modern,” kata Ny Idjah, istrinya.

Otto juga biasa ke kampus naik sepeda, ketika Bandung belum sepadat sekarang. Ny Idjah mengatakan, sebelum sakit, Otto masih sering jalan kaki ke tempat-tempat di dekat rumahnya.

Otto memang tidak sekadar memberi kuliah soal lingkungan hidup. Lebih dari itu, Otto lebih banyak memberi contoh….

”Pak Otto melakukan tindakan penyelamatan lingkungan mulai dari dirinya sendiri, lantas dicontohkan kepada orang lain,” kata seniman Nyoman Nuarta yang datang melayat.

Guru besar termuda

Di bidang pendidikan, setelah lulus cum laude dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1954, Otto melanjutkan studi pascasarjana ke Universitas Berkeley, AS, tahun 1955. Sekembali dari Amerika Serikat, ia mengajar di Fakultas Pertanian dan Kehutanan UGM.

Tahun 1960 (dalam usia 34 tahun) Otto diangkat menjadi guru besar, menjadikannya profesor paling muda di Indonesia, rekor yang bertahan selama beberapa generasi.

Dalam dunia lingkungan hidup, Otto adalah sosok terpandang. Ketika menganugerahkan penghargaan lingkungan Global 500, Badan Lingkungan PBB (UNEP) menyebut Otto sebagai ”sarjana Indonesia yang karya penelitiannya telah meluaskan pemahaman akan hubungan rumit antara penduduk, sumber daya, lingkungan, dan pembangunan.”

Tahun 1981, Otto mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama. Pada tahun itu juga Otto mendapat Satyalancana Karya Satya kelas satu. Penghargaan lain yang diperolehnya adalah Satyalancana Dwidya Sista (sebagai pengajar di Lemhannas), Sekolah Pimpinan Polisi, dan Sekolah Komando ABRI.

Dari almamaternya, UGM, Otto menerima Anugerah Sultan Hamengku Buwono IX (1994). Adapun dari Universitas Pertanian Wageningen, Belanda, Otto menerima gelar doktor honoris causa untuk ilmu pertanian dan lingkungan.

Selain memberi contoh, nilai lain yang diwariskan Otto adalah ketulusan hati. Setiap peneliti, menurut Otto, harus berani jujur dan tulus hati dalam menegakkan kebenaran.

Oleh sikapnya, Otto sering digambarkan sebagai Bima, tokoh pewayangan yang suka berterus terang. ”Saya bicara apa adanya, tidak suka berbasa-basi,” ujarnya suatu kali.

Ketika satu kali diwawancara tentang pencemaran udara, Otto mengatakan, satu saat polisi harus memakai masker. Kini, ramalannya terbukti, meski dulu pernah ditertawakan…. (JON/YNT/NIN)

Sumber: Kompas

Tinggalkan komentar