Pejuang Perempuan: Tidak Hanya Kartini

Tanggal 21 April, khususnya di Indonesia, memiliki kesakralan yang terus dipertahankan. Tanggal tersebut dipandang sebagai cikal bakal munculnya gerakan emansipasi perempuan. Bagaimana tidak, tanggal tersebut kembali mengingatkan pada lahirnya seorang pejuang perempuan Indonesia, yaitu R.A. Kartini (1879-1904).

Bukan hal aneh, perayaan Hari Kartini diisi dengan berbagai pernak-pernik perempuan. Anak-anak perempuan usia taman kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) pun tampaknya sudah menjadi keharusan pada tanggal tersebut berdandan layaknya seorang Kartini, “berkebaya, kain, lengkap dengan sanggulnya”.

Perayaan tersebut dapat dianggap sebagai ‘pengingat’ kebesaran nama Kartini dan wujud penghargaan atas jasa-jasanya ‘memerdekakan’ dan memberi peluang pendidikan bagi perempuan Indonesia, di masanya, bahkan hingga saat ini.

Namun, apakah memang hanya Kartini, sosok perempuan yang berupaya memerdekakan perempuan dan membuka peluang pendidikan bagi perempuan? Jawabnya, TIDAK.

Di Indonesia masih banyak tokoh perempuan yang concern terhadap upaya menciptakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pun sama-sama memiliki harapan menciptakan kesempatan pendidikan terhadap perempuan.

Kita kenal, semoga memang tidak terlupakan, sosok Dewi Sartika, Pahlawan perempuan dari Jawa Barat. Namun, namanya seakan tergerus zaman, tersisih oleh nama besar Kartini. Patut kiranya menyebut, ‘Jasa besar terlupakan’.

DEWI SARTIKA

Dewi Sartika

Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan. Atas jasa-jasanya tersebut, tokoh perempuan Sunda ini diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga bangsawan Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Beliau merupakan merupakan keturunan Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI, cucu dari ‘the founding father’ Bandung. Tujuh tahun setelah Uwi (panggilan Dewi Sartika) lahir, Rangga Somanagara dilantik menjadi Patih Bandung.

Pada masa tersebut sekolah di pendidikan Belanda dianggap sebagai pelanggaran terhadap adat. Namun, sebagai keluarga berdarah biru, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah tingkat dasar Eerste Klasse School. Proses pendidikan pun mengajarkan bahasa Inggris, selain bahasa Belanda.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Mendirikan sekolah
Sebagai keluarga ménak Dewi Sartika melihat sendiri kemelaratan yang ada di sekeliling karena penjajahan Belanda, dan bertutur

“Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria. Disamping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh kepada moral wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari sekolah”.

Pada tahun 1902 Dewi Sartika memulai memberikan pengajaran membaca, menulis dan keterampilan lainnya kepada sanak keluarganya di belakang rumah ibunya. Kegiatan tersebut tecium oleh C. Den Hammer, pejabat Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung. Pada awalnya Den Hammer menilai kegiatan Dewi Sartika sebagai suatu kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai.

Ternyata niat mendirikan sekolah wanita tersebut sulit dan Den Hammer mengusulkan untuk meminta bantuan Bupati Bandung Raden Adipati Martanegara. Untuk Dewi Sartika hal ini pun sulit karena ayahnya dibuang ke Ternate hingga wafat karena menentang pelantikan Martanegara sebagai bupati.

Tapi akhirnya Dewi Sartika memberanikan diri berbicara dengan bupati yang kemudian dirembukkan terlebih dahulu oleh bupati dengan sahabat dan jajaran pemerintahannya.

“Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung keukeuh hayang mah, mugi-mugi baé dimakbul ku Allah nu ngawasa sakuliah alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah téh hadé lamun di pendopo waé heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pék baé pindah ka tempat séjén”.

Dewi Sartika dan muridAkhirnya itulah yang dikatakan bupati Martanegara kepada Dewi Sartika hingga pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah Sakola Istri di Paséban Barat pendopo kabupaten dengan pengajar Dewi Sartika dibantu oleh Nyi Poerwa dan Nyi Oewid. Guru Sakola IstriMurid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan kecil di pendopo kabupaten Bandung. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu. Kemudian, jumlah muridnya bertambah menjadi 60 murid wanita.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Setahun berikutnya sekolah tersebut terpaksa dipindah ke Ciguriang Kebon Cau atas biaya pribadi dan bantuan bupati karena muridnya semakin banyak. Kemudian Dewi Sartika menikah dengan seorang guru Eerste Klasse School Raden Kanduruan Agah Suriawinata dari Karang Pamulang meskipun sebelumnya sempat dilamar oleh Pangeran Djajadiningrat dari Banten tapi ditolak.Dewi Sartika dan Kanduruan Agah Suriawinata

November 1910 Perkumpulan Kautamaan Istri akhirnya dibentuk dengan tujuan memperluas sekolah ke luar Bandung, sekaligus nama sekolah berubah menjadi Sakola Kautamaan Istri dengan mengadaptasi kurikulum Tweede Klasse School.

Pada tanggal 16 Januari 1939 Dewi Sartika mendapat Bintang Emas dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi masyarakat, sebelumnya juga memperoleh Bintang Perak dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1966 Presiden Soekarno menetapkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana dipemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar Bandung.

Dewi Sartika adalah potret nyata dari kealpaan kita untuk menempatkan seseorang dalam penghormatan yang proporsional; selayaknya dengan sumbangsih yang telah ia persembahkan yang lebih berharga dibandingkan perjuangan Kartini (Pikiran Rakyat, Senin, 04 Desember 2006).

Nina Lubis, sejarawan dari Sastra Unpad, melihat bahwa perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan R.A. Kartini hanya sebatas ide atau gagasan. Apa yang telah dilakukan Dewi Sartika justru dengan pelaksanaannya langsung.

“Dewi Sartika mah jeung prakna. Ia benar-benar mendirikan insitusi pendidikan pertama bagi kaum perempuan di negeri ini. Tidak saja dengan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan biaya sendiri” kata Lubis.

Dewi Sartika lebih berhasil dalam mewujudkan semua cita-cita luhurnya. Ia telah berhasil membangun sekolah perempuan, sebuah impian yang tidak pernah tercapai oleh Kartini semasa hidupnya. Dengan kegigihan perjuangan Dewi Sartika, ia berhasil mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 (tahun wafat Kartini). Sekolah Kaoetamaan Isteri berkembang pesat, pada tahun 1912 ada sembilan sekolah di berbagai tempat di Pasundan seperti Sumedang, Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan. Sedangkan Sekolah Kartini baru didirikan 11 tahun setelah kematiannya, itu pun atas usaha dan kerja keras Roekmini dan Kardinah (adik-adik Kartini).

Pemikiran Dewi Sartika juga luar biasa. Dia melawan feodalisme. Peranan Dewi Sartika amat besar dalam upaya membuat perempuan melek ilmu pengetahuan, tidak sebatas keterampilan tetapi juga politik dan umum. Kita mungkin bertanya mengapa tidak ada Hari Dewi Sartika seperti yang diusulkan keluarganya.Dewi Sartika pun tidak terjebak pada poligami yang lumrah dilakukan perempuan pada waktu itu. Dia bukan hanya memilih untuk tidak menjadi bagian dari poligami, tetapi juga memilih menyuarakan hal itu sebagai satu hal yang harus dihapuskan dari masyarakat.

Bahkan keluarganya juga dibuang karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Berbeda dengan Kartini yang justru bekerja sama dengan Belanda, Dewi Sartika survive.

Lantas mengapa Kartini tetap dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia? Mengapa bukan Dewi Sartika? Mungkinkah karena Kartini berasal dari Jawa sedangkan Dewi Sartika berasal dari Sunda?
Sidqi melihat beberapa hal yang sangat essensial, mengapa Kartini dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia. Menurutnya, Kartini menuangkan segala gagasan dan ide-ide pikirannya dalam bentuk tulisan. Sedangkan Dewi Sartika tidak!

Surat-surat Kartini yang berjumlah ratusan dan ditulis selama bertahun-tahun oleh tangan Kartini mengungkapkan rasa senang, sedih, kecewa, putus asa, harapan dan kenyataan. Tulisan-tulisannya bersifat renungan, pemberontakannya diungkap secara monolog. Tulisan itu adalah harta yang tidak ternilai harganya dan merupakan bahan sejarah primer, sehingga dengan mudah apa yang dipikirkan dan diperjuangkan oleh Kartini dapat ditelusuri dan dibaca oleh setiap orang.

Lewat tulisannya itu Kartini tidak hanya dikenal di Belanda dan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Karena kumpulan suratnya dibukukan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dibaca banyak orang.

Menulis adalah pembebasan dari segala kungkungan yang ada di masyarakat karena melalui menulis, segala pemikiran akan lebih bisa tertuang. Ini terlihat pula dalam surat yang ditulis oleh Kartini:

“Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang denganmu dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan.”

Dari tulisan tersebut, kita bisa melihat Kartini mengungkapkan kebebasannya melalui tulisannya, meskipun dalam kenyataannya Kartini tidak bisa melepaskan diri dari aturan-aturan konservatif yang membelenggunya. Tulisan-tulisan Kartini ini mencerminkan cita-cita dan impiannya.

Dengan demikian, ada banyak persamaan antara Kartini dan Dewi Sartika. Keduanya muncul dari keluarga bangsawan. Sama-sama peduli terhadap pendidikan, terutama pendidikan terhadap perempuan. Lalu mengapa Kartini lebih populer dibanding Dewi Sartika?

  1. 1) Kartini lebih ‘go internasional’ dengan aktivitas surat-menyurat dengan teman-teman pena dari Belanda.
  2. 2) Kartini mendapat ‘dukungan’ dari pemerintah Belanda. Banyak pihak menganggap bahwa ayah Dewi Sartika tidak loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Menjadi Pahlawan Karena Menulis
Namun, apabila Kartini dianggap lebih terkenal karena tulisannya, apa kabar dengan Roehanna Koeddoes. Tampaknya banyak orang mungkin tidak tahu keberadaan sosok Roehanna Koeddoes (1884-1972) dari Sumatera Barat. Kiprah Roehanna sebagai wartawati pertama Indonesia, yang terlahir di Koto Gadang, Agam, 20 Desember 1884, sangat besar dalam menggerakkan perempuan Ranah Minang untuk berfikir maju tak kalah perannya dibanding RA Kartini di Pulau Jawa.

Namun, sangat disayangkan Roehanna Koeddoes saat ini belum dianggap sebagai pahlawan nasional. Pemerintah baru sebatas menganugerahkan Bintang Jasa Utama, sebagai tokoh pendidikan dan jurnalis wanita, melalui Keppres bernomor 068/TK/2007.

Menggali berbagai ilmu sudah menjadi kegemaran tersendiri bagi Roehanna Koeddoes, yang bernama Asli Siti Roehanna. Ia lebih memilih belajar berbagai ilmu dan kepandaian ketimbang bermain-main dengan teman sebayanya. Meski awalnya mendapat ejekan dari teman di Kotogadang karena lakunya yang sering menyendiri dan belajar, namun lambat laun teman-temannya tertarik dengan apa yang dilakukannya. Kegiatan Reohana membacakan cerita untuk adik-adiknya mengundang ketertarikan teman-temannya untuk mendengarkannya. Tanggapan positif tersebut berlanjut, teman-teman Roehana tidak hanya tertarik untuk mendengar tapi ingin ikut bisa membaca layaknya yang dilakukan oleh Roehana. Hingga lambat laun Roehana mengajarkan teman-temannya yang tertarik untuk menulis dan membaca. Hal itu pun mendapat tanggapan yang bagus dari keluarganya. Pada tahun 1908, saat Roehana berusia 24 tahun Roehana menikah dengan Abdul Koeddoes yang juga merupakan salah seorang keponakan ayahnya atas perjodohan Tuo Sini. Abdul Koeddoes juga merupakan lelaki yang berwawasan luas dan dikenal dengan kepiawaiannya menulis untuk surat kabar. Ia sangat mendukung niat dan keinginan besar Roehana untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.

Rutinitas Roehana untuk mengajar teman-temannya berkelanjutan. Ia membagi berbagai ilmu yang didapatinya selama ini. Namun pastinya jalan yang dijalani Roehana tidaklah mulus, banyak dari masyarakat yang berfikiran picik tentang apa yang dilakukan Roehana. Khususnya dari para orang tua mereka kerap melarang anaknya untuk belajar dengan Roehana karena dianggap kegiatan itu akan membuat anak-anak mereka lupa dengan “kodrat” mereka untuk mengurusi rumah, tidak hanya itu banyak lagi pemikiran-pemikiran negatif yang mencoba menghalang-halangi langkah baik Roehana. Hingga akhirnya pemikiran negatif tersebut beredar luas, murid Roehana makin hari makin berkurang karena takut dengan orang tua mereka. Lambat-laun Roehana letih dengan semua hujatan untuknya hingga ia sempat pindah ke Maninjau dan Padang Panjang, Roehana hidup di luar Kotogadang sekitar 3 tahun. Karena banyak murid yang meminta Roehana kembali ke kampung halaman lewat surat-surat yang dikirimnya pada Roehana, mereka meminta agar Roehana kembali ke kampung dan mengajar kembali, akhirnya tahun 1911 Roehana dan suaminya kembali ke Kotogadang.

Langkah Roehana makin kukuh untuk dapat memajukan pendidikan di Kotogadang. Ia mengadakan pertemuan dengan mengundang 60 Bundo Kanduang di Kotogadang dan juga yang berada di luar daerah (merantau). Roehana mengutarakan latar belakang, maksud, tujuan dan sejarah hidupnya secara panjang lebar. Tulisan Roehana mengundang desah kagum dari banyak kalangan. Niatnya untuk mendirikan sekilah untuk kaum perempuan akhirnya dapat diterima warga Kotogadang. Tahun 1911 berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang memberikan wadah untuk perempuan Kotogadang untuk menggali berbagai ilmu. Mulai dari tulis-menulis, budi pekerti dan berbagai keterampilan lainnya. Kepeduliannya pada pendidikan tidak berhenti sampai disitu. Berawal dari kegemarannya membaca lalu ia pun membiasakan menulis, ia pun memiliki gagasan untuk mendirikan surat kabar agar komunikasi dan misinya untuk memajukan perempuan dapat diperluas tanpa harus bertatap muka, namun punya sarana yang pasti seperti surat kabar. Dengan dukungan banyak pihak akhirnya Roehana mampu merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu. Ia pun menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe. Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya di Kotogadang dan dibantu oleh Ratna Djoewita di Padang. 10 Juli 1912 surat kabar Soenting Melajoe yang pertama terbit (Nama surat kabar itu bermakna pula ‘Perempuan di Tanah Melayu’.

Lewat surat kabar tersebutlah Roehana menyuarakan kepeduliannya terhadap nasib kaum perempuan di tanah Melayu dan berbagai hal lainnya yang berisikan penyemangat kaum wanita untuk maju. Roehana lahir sebagai wartawati dan pimpinan redaksi Surat Kabar Perempuan pertama di Indonesia. Kesungguhan dan dedikasinya yang tinggi untuk kemajuan perempuan membuka mata banyak perempuan melayu untuk hidup lebih maju dan tidak terlindas zaman.

Bahkan, Roehanna pun menolak poligami. Dalam Soenting Melajoe (1912) Roehana Koeddoes mengatakan

“poligami harus dilarang. Poligami itu merugikan perempuan.”

Kesimpulan
Sosok pahlawan (baca: pejuang) perempuan Indonesia sangat banyak. Namun, sampai saat ini yang masih dan kerap diperingati hanyalah Kartini. Apakah mungkin suatu saat nanti ada lagi hari-hari peringatan terhdap sosok pejuang perempuan lain? Apa bisa tanggal 4 Desember diperingati sebagai Hari Dewi Sartika? Ataukah tanggal 20 Desember sebagai Hari “Roehanna Koeddoes’?

Penulis menganggap penetapan hari jadi mengenang para pahlawan perempuan bukan menjadi tujuan utama. Hal terpenting adalah bagaimana sikap kita ke depan dalam melihat persoalan perempuan. Jadikan momen-momen hari pjadi pejuang perempuan tersebut sebagai ‘pengingat’ dan titik mula keadaran kita menghentikan perilaku menomorduakan perempuan dan penyangkalan keberadaan perempuan.

14 responses to “Pejuang Perempuan: Tidak Hanya Kartini

  1. memang betul banyak sekali pejuang perempuan selain R.A. Kartini. mereka sepertinya tidak hidup atau bahkan orang pun jangankan melupakan tau saja tidak. miris memang.masih banyak yang harus diungkapkan tentang para pejuang bangsa Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. pusat perhatian dari emansipasi perempuan Indonesia masih berdalilkan Kartini. padahal masih banyak bibit-bibit unggul bangsa Indonesia yang memperjuangkan perbaikan harkat dan derajat bangsanya hanya saja mereka semua belum terungkap.

    nama saya Raisye Soleh Haghia. saya mahasiswi semester 7 yang insya allah sedang menyusun sripsi. saya mengangkat mengenai kiprah majalah Keoetamaan Isteri di Medan. pada saat saya mencari bahan mengenai majalah ini di situs yang muncul bukannya majalah yang saya maksud tapi lebih banyak mengenai kautamaan isteri bukan keoetamaan isteri. adakah yang bisa memberikan masukan kepada saya apakah bahan tentang majalah keoetamaan isteri di medan bayak atau saya harus merubah tema penelitian saya menjadi kautamaan istri yang dipimpin Dewi Sartika? saya tunggu masukannya. terimkasih.

    apabila ada info tentang majalah keoetamaan isteri di Medan atau sekolah kautamaan istri di Bandung tolong hubungi saya ya di email ukhti_isye@yahoo.com atau sms ke 08122281205

    • Sebelumnya, saya ucapkan makasih buat komentarnya ya…

      Kalo boleh tau, anda kuliah dimana & jurusan apa?
      Terkait skripsi, saya pikir tergantung dari sisi mana anda mencari fokus penelitiannya? Apakah dari sisi perjuangan/gerakan perempuan secara umum? Atau dari sisi jurnalistik perempuan? Untuk 2 tema itu saya pikir ada beda yg cukup mencolok. Kalo dari sisi gerakan perempuan, terutama pendidikan perempuan, selain R.A. Kartini, mungkin Dewi Sartika dengan “Sekolah Keutamaan istri”-nya menjadi tema yang cukup relevan. Apalagi literatur2 yg mengkajinya sudah cukup banyak. Anda pun sepertinya bisa mencoba napak tilas ke “petilasan” sekolah tersebut di sekitar Alun-Alun, Bandung, sekalian jalan-jalan .

      Namun, jika anda ingin mengkaji mengenai kiprah perempuan dalam dunia jurnalistik, sepertinya Majalah Keoetamaan Isteri menjadi studi kasus yang tepat. Namun memang, sepertinya literatur mengenai majalah tsb masih cukup sulit. Saya tidak tahu, mungkin universitas2 di Medan sudah ada yang mengkajinya.

      Usul kongkret, kalo misalnya anda masih tertarik dgn kiprah perempuan di dunia jurnalistik, kenapa anda tidak coba melirik kiprah seorang Roehana Koeddoes, seorang tokoh jurnalistik perempuan di Sumatera Barat. Majalah yang diterbitkannya bernama “Sunting Melayu”. Biografinya sudah pernah diterbitkan (Fitriyanti. 2001. Roehana Koeddoes Perempuan Sumatera Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan) atau bisa juga mencari buku lain (Tamar Djaya. 1975. Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Penerbit Mutiara). Kalo searching di google.com pun sudah banyak, karena belum begitu lama Roehana kudus mendapat gelar pahlawan.

      Mungkin segitu aja dulu sedikit info dari saya. Kalo perlu bantuan lagi, dgn senang hati saya upayakan meluangkan waktu.

  2. terimakasih atas respon dari bapak. mohon maaf dulu saya lupa mencantumkan tempat saya kulia. saya kuliah di Universitas Indonesia program studi ilmu sejarah. terimakasih atas masukannya pak, akan tetapi Roehana Koeddoes sudah ada yang nulis pak dan majalahnya pun, sunting melayu, sudah ada skripsinya di UI. saya tertarik dengan pers perempuan khususnya jaman pergerakan sehingga saya memilih malajah keoetamaan isteri yang pernah terbit di medan tahun 1937-1941. majalah ini diterbitkan oleh sebuah perhimpunan keoetamaan isteri yang didirikan tahun 1927. memang sangat jarang buku yang menyinggung masalah perhimpunan keoetamaan isteri di Medan. adapun beberapa buku yang saya temukan hanya membahas sekolah kautamaan istri yang didirikan Dewi Sartika. saya juga tertarik untuk menapaktilasi perjalanan Dewi Sartika tapi mungkin bukan sekarang karena saya ingin fokus kedalam penulisan sejarah pers khususnya pers perempuan. bapak peneliti pergerakan perempuan? wah senang sekali saya bisa berdiskusi dengan bapak. barang kali bapak mempunyai referensi buku yang bisa saya gunakan untuk mendukung penulisan sripsi saya? terimakasih atas bantuannya pak. kalo tidak keberatan bolehkah saya meminta alamat email bapak? terimakasih.

    • Sebelumnya saya minta maaf baru bisa membalas pesannya ya.. 😀 maklumlah, sekarang sedang diuber kegiatan di tempat kerja. Terkait dgn pers perempuan memang literatur ttg majalah keoetamaan isteri sepertinya masih jarang ditemukan. Dan maaf juga saat ini saya belum memiliki literatur tttg hal itu. 😦
      Oh, saya buka peneliti pergerakan perempuan, namun saya memiliki ketertarikan semata dgn isu itu. kalo ada hal yg bisa didiskusikan, silakan hubungi email saya: dienim@gmail.com.

      Semoga sukses dgn penulisan skripsinya. Mohon maaf belum bisa memberikan pencerahan.

      salam,

      -deni-

  3. dewi sartika adl sosok yg bjaksna yg tlh mndrikn istri

  4. sungguh mulia apa yang telah dilakukan oleh para pejuang wanita kita. . . .namun memang disayangkan seiring dengan kemajuan zaman,sedikit orang yang tahu siapa2 saja pahlawan wanita di Indonesia ini,,,,saya setuju terhadap penentangan poligami yang banyak merugikan kaum perempuan…

  5. saya hnya mengcapkan satu kata saja….

    MERDEKA…..:)

  6. no respon…………………………………zzz……………..zzzzzzzzzzzzz……………..

  7. kalau menurut saya sgt kecil sekali jasanya r.a.kartini,yaitu sebatas ide yg berasal dari surat menyuratnya dgn ny.abendanon,jangan2 ini hanya karangan org belanda itu sendiri karena menyangkut emansipasi yg meru – pakan ide sekuler. Oleh Presiden Soekarno digembar-gemborkan bhw R. A.Kartini adalah pahlawan wanita yg sangat berjasa hanya karena dia adalah org Jawa,dan dibuat pula lagu khusus utk dia sbg ibu” sejati.”,pada hal dia meninggal pada usia 25 tahun. coba bandingkan dgn Dewi Sartika yg mendirikan sekolah dan meninggal pada usia 88 tahun.

Tinggalkan komentar